AT-TAUHID EDISI 16/04
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra : 32)
–
1) Zina termasuk dosa besar setelah syirik dan pembunuhan.
Muamalah yang mungkar seperti zina dan transaksi jual beli yang dilarang syariat tetaplah haram walaupun kedua pihak saling setuju, jika hal tersebut telah disepakati keharamannya. [1]
–
2) Imam Bukhari membawakan sebuah kisah dari Amr bin Maimun :
“Saya pernah melihat pada masa jahiliyyah ada seekor kera yang berzina. Lalu beberapa kera berkumpul untuk merajamnya, aku pun ikut merajam bersama mereka.” [2]
Jahiliyyah adalah masa sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh dengan kejahilan dan kesesatan.[3]
–
3) Banyak manusia berakal yang belajar dari binatang mengenai beberapa perkara yang bermanfaat, seperti dalam mencari rezeki, akhlak, kesabaran, dan sebagainya. [4]
–
4) Cemburu merupakan sifat yang mulia. Dengannya terjaga kehormatan seseorang dan keluarganya. Jika hilang, maka akan terkoyak pula kehormatan seseorang dan keluarganya.
[1] Al-Ahkam As-Sulthaniyah hal. 406
[2] Kitab Sahih Bukhari No. 3849
[3] Hayah Albani 1/391–394
[4] Syifa‘ul Alil, 1:252
Imam Bukhari membawakan sebuah kisah dari Amr bin Maimun, ia mengatakan yang artinya,
“Saya pernah melihat pada masa jahiliyyah ada seekor kera yang berzina. Lalu beberapa kera berkumpul untuk merajamnya, aku pun ikut merajam bersama mereka.” (Kitab Sahih Bukhari No. 3849).
Kisah ini mengandung beberapa pelajaran berharga, di antaranya:
1. Kejinya perbuatan zina
Zina adalah perbuatan seorang lelaki menggauli wanita di luar pernikahan yang sah atau perbudakan. Zina termasuk dosa besar setelah syirik dan pembunuhan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran, Hadits, Ijma’, dan akal. Perhatikanlah firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra : 32).
Perhatikanlah bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati perzinaan dengan perbuatan keji dan buruk karena memang dalam perzinaan terdapat sejumlah dampak negatif, seperti hancurnya keutuhan keluarga, bercampurnya nasab, merebaknya penyakit-penyakit berbahaya, menimbulkan permusuhan, kehinaan, keruwetan hati, dan sebagainya.
Jika binatang saja merasa jijik dan mengutuk perbuatan zina dan pelakunya padahal mereka tiada berakal, lantas bagaimana dengan dirimu wahai manusia?! Sungguh menyedihkan hati, maraknya perzinaan, pencabulan, perselingkuhan di negeri ini, banyaknya pos-pos perzinaan yang dilindungi, dan mesin-mesin pengantar menuju perzinaan dari gambar-gambar porno dan seronok yang membanjiri internet, majalah, juga televisi!
Alangkah bagusnya ucapan Imam Al-Mawardi rahimahullah, “Adapun muamalah yang mungkar seperti zina dan transaksi jual beli haram yang dilarang syariat —sekalipun kedua belah pihak saling setuju— apabila hal itu telah disepakati keharamannya, maka merupakan kewajiban bagi pemimpin untuk mengingkari dan melarangnya serta mengganjarnya dengan hukuman yang sesuai dengan keadaan dan pelanggaran.” (Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hal. 406).
Lebih parah lagi, apa yang dilakukan oleh kelompok Syiah tatkala menjadikan praktik perzinaan yang keji dengan kedok ibadah, mereka sebut zina tersebut dengan nikah mut’ah. Ini adalah perzinaan yang lebih besar dosanya karena menjadikan kemaksiatan sebagai ibadah. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan apa yang telah mereka perbuat.
2. Adanya syariat rajam bagi pelaku zina
Ketetapan hukum rajam bagi pezina yang muhshan (sudah menikah) dalam syariat ini ditetapkan berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kesepakatan kaum muslimin semenjak dahulu hingga sekarang. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali orang-orang yang mengklaim diri mereka adalah kaum moderat, yang mempertimbangkan aspek kekinian. Sebenarnya mereka lebih tepat dinamakan kaum liberal, yang berusaha mengurai tali-tali syariat Islam yang kuat. Mereka berkeyakinan hukum rajam tidak lagi relevan (sesuai) dengan zaman modern ini, dan melakukan ijtihad di luar frame (bingkai) tuntunan syariat. Sadar atau tidak sadar mereka sebenarnya berusaha menghilangkan tuntunan agama Islam itu sendiri.
Mirip dengan kisah kera ini, sebuah kisah yang diceritakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata, “Sebagian syaikh terpercaya bercerita kepadaku bahwa dia melihat di masjid suatu jenis burung bertelur, lalu ada seorang mengambil telurnya dan menggantinya dengan telur jenis burung lainnya. Tatkala telur burung itu menetas, maka yang keluar adalah jenis lain. Mengetahui hal itu, maka sang jantan langsung memanggil kawan-kawannya untuk menghakimi si betina sampai mati. Seperti ini sangatlah populer dalam kebiasaan binatang.” (Majmu’ Fatawa, 15:147).
3. Belajar dari Kecerdikan Sebagian Hewan
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Banyak manusia berakal yang belajar dari binatang mengenai beberapa perkara yang bermanfaat dalam mencari rezeki, akhlak, produksi, peperangan, kesabaran, dan sebagainya.” (Syifa‘ul Alil, 1:252).
Terlebih lagi kera, ia adalah binatang yang cukup cerdas. Oleh karenanya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Disebut secara khusus kera dalam hadits ini karena ia memiliki kecerdasan lebih dibandingkan dengan hewan lainnya dan cepat belajar menirukan. Hal yang jarang dijumpai pada kebanyakan hewan lainnya.” (Fathul Bari, 7:202).
Di antara kecerdasan kera adalah apa yang diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dahulu ada seorang yang menjual khamr di kapal bersama kera. Apabila dia menjual khamr maka dia mencampurnya dengan air. Maka kera mengambil kantong uang lalu naik ke kayu (tiang) layar kapal seraya membagi uang, sebagian dinar ia lempar ke laut dan sebagian dinar ia lempar ke kapal.” (H.R. Ahmad, 2:306, An-Naqqasy dalam Funun Ajaib Hal.78–79, Abu Syaikh dalam Thabaqat Muhadditsin, 2:104, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan 2:28 dengan sanad sahih).
Hadits ini menunjukkan kecerdikan sebagian hewan. Al-Munawi rahimahullah berkata dalam Faidhul Qodir 1:491, “Telah sahih bahwa sekelompok orang pernah melihat kera bisa menjahit dan kera yang digaji untuk menjaga sawah.” Lalu beliau berkata, “Cerita seperti ini banyak sekali.”
Adakah manusia yang dapat mengambil pelajaran dari semua ini?! Apakah mereka akan sombong dari menuntut ilmu sehingga kalah dengan hewan?!
4. Sifat Cemburu
Cemburu merupakan sifat yang mulia. Dengannya terjaga kehormatan seorang dan keluarganya. Adapun bila sifat cemburu telah hilang maka akan terkoyak pula kehormatan seorang dan keluarganya. Anehnya, sifat yang mulia ini sangat jarang kita jumpai pada zaman sekarang dengan alasan kebebasan dan perkembangan zaman. Orang yang cemburu dianggap kampungan, kolot, dan ketinggalan zaman! Oleh karenanya, sering kita dengan dengar ucapan sebagian orang, “Ini zaman modern, bukan zaman Siti Nurbaya lagi!”.
Subhanallah! Apakah kita tidak mengambil pelajaran dari binatang yang masih memiliki kecemburuan?! Imam Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna rahimahullah menyebutkan dalam Kitabul Khoil dari jalur Al-Auza’i bahwa ada seekor kuda diperintah untuk menggauli ibunya maka dia enggan. Akhirnya, ibu kuda tadi dimasukkan ke rumah dan ditutupi kain lalu diperintahkan kepada anaknya untuk menggaulinya. Karena dia tidak tahu, maka ia pun menggaulinya. Tatkala ia mencium aroma ibunya serta-merta ia menggigit dzakarnya sendiri dengan giginya sampai putus (Fathul Bari, 7:203).
Kisah yang mirip juga adalah kisah kecemburuan seekor sapi yang bunuh diri karena dia telah menggauli ibunya sendiri. Alkisah, sapi tersebut ditutup matanya lalu diseret ke ibunya agar menggaulinya. Setelah proses pengawinan selesai, dibukalah mata sapi tadi, dan ketika dia tahu bahwa yang ia gauli adalah ibunya sendiri maka serta-merta sapi tersebut langsung lari terbirit-birit menghantamkan kepalanya ke tembok sehingga berlumuran darah. Lalu lari dengan gila menuju sungai kemudian menenggelamkan dirinya hingga mati! (Hal Ataka Hadits Rofidhah, Hal. 125). Subhanallah, jika binatang saja memiliki cemburu seperti itu, lantas bagaimana dengan dirimu wahai manusia?!
5. Inilah Makna Jahiliyyah
Jahiliyyah adalah masa sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh dengan kejahilan dan kesesatan. Jahiliah secara mutlak adalah masa sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Maka termasuk kesalahan apabila menyifati masa diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jahiliah secara mutlak. Dari sini pula dapat kita ketahui kesalahan sebagian tokoh pergerakan yang memunculkan istilah “Jahiliah Abad 20”. (Hayah Albani 1/391–394 dan Mu’jam Manahi Lafzhiyyah hlm. 212–214 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid).
Ditulis oleh Ustaz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Dinukil dengan sedikit perubahan dari website beliau www.abiubaidah.com